Friday, May 15, 2009

Pembahasan Serat kekiyasanning Pangracutan

Pada waktu jalan2 ke perbagai forum, saya menemukan suatu bahasan yang sangat menarik dan langka, yaitu Serat kekiyasanning Pangracutan karya Sultan Agung Hanyakrakusuma

Sebagai orang jawa saya tergugah untuk nguri2 atau melestarikan budaya jawa yang notabene terdesak oleh budaya asing.

berikut adalah tulisan asli yang saya ambil dari forum, semoga bisa menambah wawasan, syukur2 bisa mengamalkan

Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan Agung raja atara ( 1613 - 1645 ) rupa-rupanya Serat Kekiyasaning Pangrautan juga menjadi narasumber dala penulisan Serat Wirid Hidayat Jati oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta RONG no-GO ma-WAR ni SI ra TO = Ronggowarsito atau R.. Ng. Rongowarsito.


SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN
terjemahan

Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.

Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :
1. Panembahan Purbaya
2. Panembahan Juminah
3. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
4. Panembahan Juru Kithing
5. Pangeran di Kadilangu
6. Pangeran di Kudus
7. Pangeran di Tembayat
8. Pangeran Kajuran
9. Pangeran Wangga
10. Kyai Pengulu Ahmad Kategan

1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :

1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.

Masih banyak pula kejadiaanya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa yang menjadi penyebabnya. Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat sebagai berikut :
Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut. Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti yang akan kami utarakan berikut ini :

1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.

2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akan terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sangar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.

3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.

4. Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.

5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.

2. Berbagai Jenis Kematian

Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian misalnya
Mati Kisas
Mati kias
Mati sahid
Mati salih Mati tewas
Mati apes

Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :

Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.
Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.
Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga ?”
Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.
Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika , tidak terduga siapa yang dapat menyamainya.

3. Wedaran Angracut Jasad

Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, didunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.

4. Wedaran Menghancurkan Jasad

Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut : “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjijat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta :
Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
Puasa padam api, tujuh hari tujuh malam
Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya :

1. Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan
2. Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan
3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
6. Pati raga selama sehari semalam.
Adapun caranya Pati Raga adalah : tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.

Perlunya Pati Raga
Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”
Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan dapat Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut.

Pembahasan dari sudut pandang penulis

pada umumnya orang salah mengartikan antara ngracut sukma dan ngraga sukma adalah sama, memang hampir sama tapi beda, ngraga sukma lebih bersifat jalan2 ke dunia astral, pergi ketempat jauh dengan badan halus kita dengan kata lain "wisata" dengan badan halus kita, tetapi ngracut sukma lebih bersifat melepaskan ruhani kita dari keterkaitan atau ketergantugan pada hal2 yg bersifat duniawi. pada hal teknis roh yg kita lepas pada ngraga sukma pada lapisan terluar, sedangkan pada ngracut sukma ruh yg kita "racut" pada level yg lebih halus atau pada lapisan lebih dalam, perlu diketahui bahwa ruh itu urusan Allah, manusia tiada mengetahui kecuali sangat sedikit, yang sangat sedikit itu pada hakekatnya sangat bermanfaat apabila kita mensyukuri dan tidak menyia-nyiakan walaupun sangat sedikit.

Hakekat terdalam manusia adalah Tuhan, tapi ini jangan disalah artikan bahwa manusia itu Tuhan, ini pendapat keliru!, hamba itu beda dengan Khalik, hamba itu bersifat serba terbatas, sedangkan sang Khalik bersifat maha dan tak terbatas, tetapi antara hamba dan sang Khalik ada titik temunya yaitu "roso" atau rahasiaNya yang berpusat di sanubari hamba paling dalam. Apabila hamba sudah sampai pada taraf sembah roso maka akan mempermudah hamba tersebut untuk manunggal dengan Gustinya.

Dalam kaitan dengan Serat kekiyasanning Pangracutan, laku2 yang terkandung didalamnya bersifat teknis untuk mencapai mati sajroning urip atau dalam terminologi islam disebut mukhlis atau ahli ikhlas. nah, inilah titik temu antara islam dan kejawen, sungguh ironis apabila ada orang mempertentangkan antara islam dengan kejawen, karena islam adalah Dien sedangkan kejawen adalah budaya, keduanya mempunyai dimensi yg berbeda, tapi banyak titik temunya.

16 comments:

  1. O ya Mastono, seringkali orang menganggap ada kesamaan antara ilmu pangracutan dengan moksa atau kamukswan/mosca (warangka manjing curiga).
    Dan saya pernah mengalami suatu pengalaman yg luar biasa, yg membuat saya terkagum menyaksikan betapa para leluhur kita di tanah Jawa ini khususnya Mataram diam-diam banyak sekali yg mencapai ilmu kasampurnan, dgn tolok ukur mati dalam kesempurnaan yakni kamukswan. Yg saya "saksikan" dan ketahui beliau dari Panembahan Senopati, Kanjeng Sultan Agung, PB I s/d PB X (solo), KGPAA Mangkunegoro I hingga ke VI dan .., kemudian HB I s/d .. (Jogja).

    salam asih asah asuh
    rahayu

    ReplyDelete
  2. yah itu memang dari segi istilah kadang beda2 tapi setahu saya mokswa itu mati tanpa raga, sedangkan pangracutan sebuah teknik untuk mencapai kesadaran ruhani...tolong dong ditulis kangmas di blog njenengan pengalaman tsb sya memang sedang belajar...

    ReplyDelete
  3. 1000 hari berarti sekitar 3 tahun kurang dikit ya Kang. Ngga ada cara yang lebih cepet Kang, misalnya 100 hari saja?
    Kalau 1000 hari, rasanya ngga banyak yang mampu ya.Kurang dari 1% lah yang mampu.

    ReplyDelete
  4. wakakakakak...kang lambang niku sing mboten2 mawon...inilah kelemahan orang sekarang yg pinginnya instan melulu, kalaupun ada keknya sangat menyakitkan kang...misalnya sampeyan sakit jantung dan merasa sangat sakiiit banget sampai sampeyan sangat takut akan kematian dan menyadari segala dosa2 sampeyan , kira2 apa yg akan sampeyan lakukan???? berdoa sekuat tenaga serta pasrah sekuat tenaga diluar kebiasaan kita sehari hari...ini mungkin bisa lho.....tapi ini hanya contoh lho kang...jangan diambil ati...qiqiqiqiqiqiqi

    ReplyDelete
  5. Wekekekkk...
    Sebetulnya sih enda mau yang instan. Tapi kalau ada angkot, kenapa harus naik onta? Hehehe...
    Nahan hawa napsu itu angel lho kang. Kalau bedug buka, pinginnya terus makan aja, padahal itu nafsu. Ndeleng bojo rodo menuk-menuk, terus sunah rosul. Napsu maning. Lagi santai kalau ngga ngrokok mulut jadi asem. Napsu lagi. Ada infotainment di TV, pingin nonton, napsu lagi. Lha angel tenan tho Kang.
    Kalau 100 hari tinggal di hutan biar ngga ada nafsu, mudah-mudahan mampu lah.. Tapi kalau 1000 hari, hiks... iso dadi akik kuwi...

    ReplyDelete
  6. inilah susahnya...kalo sering jalan2 di forsupnya kaskus...begitu ada gretongan ngelmu yg pake puasa mesti pada minta yg praktis gak pake puasa dan langsung jadi tinggal pake....xixixixi.....boro2 dikasih gretongan.....

    ReplyDelete
  7. Ki Mastono. nuwun kawicaksanan bab panggracutan. Ini yang menarik, sebab jangan-jangan kita semua pernah mengalami tapi tidak disadari hehe..

    Buat ki sabdalangit, lho kok yang panjenengan saksikan dan ketahui telah moksa hanya Panembahan Senopati, Kanjeng Sultan Agung, PB I s/d PB X (solo), KGPAA Mangkunegoro I hingga ke VI dan .., kemudian HB I s/d .. (Jogja) saja sih... bagaimana dengan Ki Wirohadi, Ki Lambang, Ki Mastono, Kang Boed, Ki PJ, ki santri gundul dll atau saya sendiri? Apa tidak terlihat sih? kan kita suah berkali-kali moksa qiqiqi...rahayu ki, dllanjut...

    ReplyDelete
  8. @wong alus

    wah kalo nanya saya, saya ndak tahu ki, saya hanya bisa teori thok prakteknya masih nol.....tapi menurut hemat saya pangracutan ini lain dari ngrogo sukmo yg dibicarakn di rumah njenengan, kalo menurut di cerita dialog antar sultan agung dengan kyai ahmad kategan, beliau baginda sultan gundah ketika menyaksikan berbagai macam kematian yg menimpa bebrapa orang yg beliau saksikan, ada yg menjadi membusuk,menjadi air dsb dan beliau mencoba merumuskan bagaimana persiapan utk menghadapi ajal secara benar supaya tidak menjadi yg macem2 atau sempurna patinya dan disimpulkan melalui ajaran sunan ampel lah yg menjadi pedoman, sedangkan lakunya yang 1000 hari dsb hanya sarana latihan meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia, mungkin pada waktu hari terakhir di laku tsb...mungkin lho...akan byar...semua terlihat terang benderang serta akan punya sandaran hidup yg jelas dan pasti demi menyongsong patinya...ini hemat saya lho.....waduh kok saya disebutkan sih ki, saya betul2 ndak bisa apa2 cuma bisa teori thok....bagaimana dengan panjenengan ki???

    lebih baik panjenengan tanyakan langsung di rumah ki sabda....sekarang ini mungkin karena kesibukan beliau maka beliau jarang mampir

    ReplyDelete
  9. Yth Ki Mastono, saya sepakat kalian panjenengan. Pangracutan sepertinya "ruh"nya yang keluar jasad. Sementara dalam ngrogo sukma, yang keluar jasad itu nafs-nya, jiwa fisiknya. Kan lebih mudah untuk memahami manusia terdiri dari 3 hal, jasad --nafs/jiwa --ruh. Nah, pangracutan ini yang keluar adalah ruhnya. Nuwun ki, sama2 wong cubluk ini hanya sekedar ingin berbagi kebingungan. kasunyatannya.. ya wallahu a'lam...

    ReplyDelete
  10. ya sepakat ki...sama panjenengan, memang ada suatu versi bahwa dalam ngrogo sukmo itu yg keluar adalah ruh nurani bukan ruh idhofi, tapi ada juga dalam suatu pendapat bahwa didalam diri kita itu ada kembaran badan kita yg berbadan halus dan badan halus itulah yg keluar dlm ngrogo sukmo, kearifan ini dikenal oleh para master kundalini dan reiki....

    sedangkan pangracutan itu seperti warangko manjing curigo kek gitu kira2 ya ki walaupun pada tataran awal menuju makrifat Allah, saya kira kalau dibahas gak akan habis2 ya ki kalau belum ngalami sendiri...heheheheh...tapi ya itu saya ini speperti yg mas lambang bilang seperti kebanyakan orang sekarang, maunya instan melulu dan mudah sedangkan untuk mencapai warongko manjing curigo itu tidaklah mudah, memang tidak mudah juga ya ki hidup diantara mall2 dan godaan sinetron, infotainment, dsb................maturnuwun atas tambahannya ki alus............

    ReplyDelete
  11. "ta'udz"
    punteun m'mas - m'mas
    ijin melu nyimak yo..
    bahasanne apik tenan iki

    ReplyDelete
  12. nuwun sewu yo mas - mas,, ati kok dadi plonk yo...
    hehehe... ma'f klo basa jawanya jelek/salah,,
    soalnya aku lahir di cilacap tp gede di bandung...
    ta' tunggu bahasan barunya ya mas

    ReplyDelete
  13. Ass ww
    Sakderengipun nyuwun pangapunten..nderek tepang kawula SiMoel, badhe nyuwun seserepan babagan Jalu Panambang meniko menopo? sepindah malih nyuwun pangapunten mbok bilih pitakenan meniko mboten jumbuh kalian pangracutan sukmo...matur nuwun...
    Wass.ww

    ReplyDelete
  14. Salam kenal mas...senang bisa mampir dan berrkunjung di blog ini..salm dari diah ayu mustika

    ReplyDelete
  15. menahan hawa nafsu 1000 hari...?,....ada yg instan ga kang Tono,...soalnya istriku baru 1 hari saja colak-colek ngajakin.....
    ilmu Pangracut ilmu yg perlu pertahankan,...ilmu tersebut kalo ga salah pernah dimIliki oleh PATIH GAJAH MADA, PRABU SILIWANGI, SYEH SITI JENAR....KARNA ILMU TSBT SAMA SAJA DENGAN MOKSA ATAU MENGHILANGKAN DIRI

    ReplyDelete
  16. nuwun sewu mas
    nderek ngaji roso wonten miriki
    kulo Darma saking Mojokerto...
    saya pernah belajar ilmu pangracutan versi gunung Lawu era tahun 2000an..
    saya dulu belajar ilmu pangracutan versi huruf Jawa versi huruf akhir honocoroko...NGRACUT busananing manungso NGO....
    maaf saya tidak bermahsud sok tahu apakah mas penulis juga berasal dari trah ilmu gunung Lawu atau trah yg lain

    nuhun
    Darma

    ReplyDelete