Friday, August 14, 2009

Sampai Dimanakah Level Kemawas Dirian Kita

Mawas diri atau tingkat kewaspadaan kita dibentuk atas dasar kewaspadaan kita pada lingkungan sekitar, kewaspadaan ini tidak hanya waspada terhadap kejahatan, bencana dan penyakit tapi lebih jauh lagi adalah kewaspadaan diri terhadap lingkungan yg berupa benda2 mati seperti batu, air, api, tanah, udara, petir, ekosistem hayati hingga alam semesta raya. Apabila kita telaten mengamati yang biasa maupun yang tidak biasa diamati maka sedikit demi sedikit akan terbentuk kemawas dirian yang sesungguhnya.


Tingkatan nandhing sarira
Ini adalah tingkatan paling dasar, kalau dianalogikan tingkatan ini pada level wayang kulit dan wayang kulit itu hanya kulit yg ditatah dan dibentuk tokoh wayang, misalnya: pertempuran antara wayang Arjuna dan wayang Buto Cakil, maka kita tahu mana yang baik dan buruk, tentunya Arjuna pada sisi yg baik sedangkan Buto Cakil pada sisi yg buruk. Kalau pada contoh yang nyata adalah saat kita ngerumpi, orang yg ngerumpi, bergunjing atau ngrasani itu membicarakan kejelekan orang lain apakah itu tetangga, teman sekantor, suami/istri dsb maka ujung2nya dari ngerumpi itu adalah yg berbicaralah yg paling unggul, paling baik, paling tidak berdosa dan paling2 lainnya. Sesuai dengan namanya nandhing sarira itu adalah membanding-bandingkan individu, nandhing sarira juga berujung pada pemuliaan diri sendiri dengan cara tidak memuliakan orang lain.



Tingkatan tepa sarira
Ini adalah tingkatan menengah, pada tingkatan ini sudah bagus utk berhubungan dengan masyarakat sekitar, sebab tidak ada lagi ngerumpi dsb yg membicarakan keburukan orang lain, tapi pada tingkatan ini orang menganggap orang lain sama (kulo panjenengan sedoyo sami), apabila saya merasa punya kelebihan maka saya juga menganggap orang lain juga punya kelebihan yg sama walaupun penerapannya berbeda, apabila saya belajar terhadap orang lain maka orang lain juga belajar terhadap saya, apabila saya punya kekurangan maka orang lain juga punya kekurangan, pada tingkatan ini bisa dianalogikan pada tingkatan yg memainkan wayang yaitu dalang. Dalang bertugas memainkan wayang sesuai dengan karakter wayangnya dan mengikuti lakon yg ada, tidak mungkin seorang dalang memainkan wayang Arjuna yang tenang dan menghanyutkan dengan watak Buto Cakil yg lanyap atau banyak tingkah dan omong, bagi dalang semua wayang satu kotak punya perlakuan yg sama tidak ada perbedaan perlakuan satu dengan yg lainnya, apabila lakon pertunjukan sudah usai, dalang jugalah yg memasukkan semua wayang kedalam kotak dengan hati2 pada semua wayang.


Tingkatan mulat sarira
Pada tingkatan ini kita bisa melihat kelebihan orang lain diatas kekurangan kita, apabila seorang sarjana dibidang agama bertemu dengan anak SMP, sarjana yg kurang baik akan bersikap seperti dialog dibawah ini:


sarjana : "Kamu tahu tidak, apabila kamu berbuat dosa maka kamu masuk neraka dan apabila kamu berbuat baik maka kamu masuk sorga juga sorga dan neraka itu sudah diciptakan sejak dulu"
anak SMP : "wah setahu saya neraka itu belum diciptakan pak sarjana"
sarjana : "kamu tahu apa! saya ini sarjana dibidang agama, kamu hanya anak SMP masih ingusan harus banyak belajar lagi supaya bisa pintar seperti saya"
anak SMP : "tapi pak...."
sarjana : "sudah..sudah...tidak usah berdebat, kamu pasti salah, lha wong saya sarjana kok mau digurui anak SMP, nggak mungkin lah..."


itu adalah sebuah contoh seorang sarjana yg masih berwatak nandhing sarira, tentunya sungguh sangat utk tidak kita tiru dan mungkin juga gelar sarjana dibidang agama yg notabene banyak bergelut dengan pelajaran moral dan akhlak perlu dikoreksi, tapi dibawah ini adalah contoh sarjana yang baik:


sarjana : "Kamu tahu tidak, apabila kamu berbuat dosa maka kamu masuk neraka dan apabila kamu berbuat baik maka kamu masuk sorga juga sorga dan neraka itu sudah diciptakan sejak dulu"
anak SMP : "wah setahu saya neraka itu belum diciptakan pak sarjana"
sarjana : "wah menarik sekali pendapat kamu, coba terangkan alasan kamu barangkali saya yang salah"
anak SMP : "mohon maaf pak sarjana, menurut saya neraka itu belum diciptakan sampai semua manusia dikumpulkan dipadang mahsyar dan diperlihatkan amalan masing2, dari amalan buruk maka akan membakar diri yg mengamalkan, amalan buruk itulah neraka sebagai wujud dari dosa manusia akibat kesalahannya sendiri bukan karena Tuhan, apabila neraka sudah diciptakan dulu maka kesannya Tuhan mentakdirkan sebagian manusia masuk neraka padahal sebagai akibat kesalahan manusia itu sendiri, sedangkan surga memang diciptakan dari dulu sebab manusia masuk sorga karena ridho Tuhan bukan karena banyaknya jumlah amal ibadah"
sarjana : "wah bagus sekali pendapat kamu, saya jadi malu karena selama ini pendapat saya banyak kekurangannya, terima kasih sudah memberi pencerahan"
anak SMP : "waduh pak sarjana jangan begitu ah...saya cuman membaca buku karangan profesor A rektor universitas tempat anda kuliah"
sarjana : "oooo...pantesan"


nah dari dialog diatas, tentunya lebih indah pada dialog yg kedua, sebab sarjana pada dialog kedua sudah berwatak mulat sarira, walaupun pendapat anak SMP tsb belum tentu benar tapi karena kerendahan hatinya sang sarjana maka dia mendapat pelajaran dan hikmah baru dari profesor A rektor sekaligus dosen si sarjana lewat anak SMP, sungguh ilmu Tuhan itu datang tak disangka-sangka, hanya dengan mulat sarira lah kita bisa menerima pelajaran ilmu Tuhan dari segala penjuru. Mulat sarira apabila dianalogikan seperti dalang ketika menghadap yg empunya rumah atau yg menanggap, apabila si tuan rumah meminta lakon "semar mbabar jati dhiri" maka si dalang tidak bisa menolak dan permintaan tuan rumah selalu benar adanya, simbol dalang menghadap tuan rumah merupakan perwujudan ketika ruh menghadap illahi bukan dalam arti orang itu mati, ruh itu makrokosmis bagi yg percaya dan menyetubuhi alam semesta ini tidak terpecah-pecah pada individu2 hanya kesadaran tiap2 individu yg berbeda-beda tapi pada hakekatnya sama yaitu kesadaran pada tingkat dalang yg memainkan wayang (individu) yaitu kesadaran rohani, orang berkesadaran rohani yg mati sakjeroning urip dan menghadap illahi maka orang itu telah bermakrifat, saya tidak bisa menjelaskan makrifat itu apa secara mendetail, barangkali yg bertanya lebih makrifat dari yg ditanya.


Mulat sarira terusannya adalah mulat sarira sari rasa tunggal, yang artinya satu rahsa (rahasiaNya) sejati diantara semua individu yaitu rahsa sejatine ora ono opo2 kejobo sing kondho atau sesungguhnya tidak ada apa2 kecuali yg berkata, yg berkata ini adalah yg bersaksi atas kekosongan seperti dalang yg melihat layar kain putih karena semua wayang sudah dimasukkan kotak, dalang inilah rahsa sejati. Apabila seseorang sudah mencapai pusat dari rahsa (telenging rahsa/pusat rahsa) maka orang itu telah punya kedirian sejati maka menjadi mulat sarira hangrasa wani yang artinya mulat sarira yg berkedirian sejati dan berani bertindak sama antara ucapan dan perbuatan, berani berubah atau hijrah utk menuju yg lebih baik dari yg berkesadaran jasmani yg penuh ego keakuan dan duniawi ke kesadaran rohani yg menjumenengkan (mendirikan) bathin yang diliputi cahayaNya dan terlepas dari segala ego keduniaan.


Setelah melihat uraian di atas, sungguh kurang elok apabila tidak diaplikasikan kedalam berbangsa dan bernegara. bangsa Indonesia tercinta ini sesungguhnya sudah pada tahap mulat sarira pada sebagian kecil rakyatnya, ini dibuktikan pada sikap tenggang rasa, saling hormat menghormati antar umat beragama, suku, ras dan golongan, serta sifat gotong royong di pedesaan, tapi sungguh sayang seribu sayang, sebagian besar dari yg kecil itu tadi masih mulat sarira hangrasa ora wani karena tidak berani berubah lebih karena cari selamat daripada celaka tergilas kemajuan jaman apabila berubah dan sedikit sekali yg benar2 mulat sarira hangrasa wani yaitu jiwa2 yg berkedirian sejati yg diakui olehNya dan siap utk memimpin bangsa ini kelak apabila Tuhan meridhoi, semoga kita semua masuk kedalam golongan orang2 yg mulat sarira sari rasa tunggal hangrasa wani.

blog comments powered by Disqus