Thursday, October 8, 2009

Terjemahan Serat Wedhatama Pangkur 6-8

Mari kita membahas kelanjutan dari kisah si pengung dari bait sebelum ini, semoga kita bisa mengambil manfaat dari ini.

06
Uripa sapisan rusak,
nora mulur nalare ting saluwir,
kadi ta guwa kang sirung,  
sinerang ing maruta,
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
pindha padhane si mudha,
prandene paksa kumaki.

07
Kikisane mung sapala,
palayune ngendelken yayah wibi,
bangkit tur bangsaning luhur,
lah iya ingkang rama,
balik sira sarawungan bae durung,
mring atining tata krama,
nggon-anggon agama suci.

08
Socaning jiwangganira,
jer katara lamun pocapan pasthi,
lumuh asor kudu unggul,
sumengah sesongaran,
yen mangkono kena ingaran katungkul,
karem ing reh kaprawiran,
nora enak iku kaki.


Terjemahan bait 6
hidup sekali rusak
tidak panjang nalarnya
dari gua yang seperti selokan
terbawa oleh angin
bergema ketika manggung
ibarat orang muda
tapi memaksakan diri menjadi orang tua

jangan sekali sekali kita menyia nyiakan hidup yg cuman sekali bagi yg tidak percaya reinkarnasi, sebab sekali rusak maka kelak akan menyesal dikemudian hari (Uripa sapisan rusak), seperti pemakai narkoba, sekali kecanduan maka tidak akan sembuh 100 persen, maka jangan sekali sekali mencobanya. Bagi yang sudah rusak hidupnya, maka nalarnya tidaklah panjang dan malas untuk berpikir (nora mulur nalare ting saluwir) dan nalarnya seperti selokan yang kotor (kadi ta guwa kang sirung) dan mudah diombang ambing karena tidak punya pendirian, maka seperti terbawa angin (sinerang ing maruta), karena itu bualannya menggema bagaikan burung yang sedang berkicau (gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung). Orang yang ilmunya pas pasan atau masih muda ilmunya (pindha padhane si mudha) yang memaksakan diri supaya terlihat pandai (prandene paksa kumaki) dan menjadi sok pandai padahal tidak tahu apa apa.

Terjemahan bait 7
asahannya cuma sedikit
seperti mengandalkan orang tua
bangkit lagi pula termasuk luhur
begitulah ayah
kembalinya engkau bertemu saja belum
terhadap inti tata krama
yang ada di agama suci

masih melanjutkan bait yang ke enam, bagi yang sudah rusak hidupnya maka dia akan belajar sedikit tentang ilmu kehidupan (kikisane mung sapala) dan hanya mengandalkan kemampuan, kekayaan, kedudukan orang tua didalam bertindak (palayune ngendelken yayah wibi), semua itu dia lakukan demi menjaga nama orang tua supaya tidak memalukan (bangkit tur bangsaning luhur), maka begitulah sifat dari ayah yang menuruti kemauan anaknya yang manja (lah iya ingkang rama). Maka dari itu  kembalilah ke apa yang dicari yaitu inti dari tata krama yang adi luhung yang belum ketemu dan ada di semua agama agama yang suci (mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci). Semua itu harus kembali ke ajaran agama masing masing bila hidup telah rusak, kalau didalam agama Islam kembali ke Quran dan sunnah, Al Qur'an itu adalah wahyu petunjuk Allah bagi hamba2Nya yg yakin bahwa itu adalah petunjuk baik itu pemeluk islam mapun non islam, sudah banyak cerita bahwa sarjana sarjana barat yg notabene non muslim malah terinspirasi oleh Qur'an, sedangkan orang islam sendiri malah sibuk berdebat tentang halal haramnya suatu permasalahan hingga berlarut larut. upaya keilmuan umat islam bisa maju, maka belajarlah dari tradisi keilmuan barat yg menggunakan alam ini sebagai laboratorium dan menggunakan akal sebagai penerjemah dari percobaan2 yang ada di laboratorium tersebut ditambah hati untuk berdzikir terhadap segala kekuasaanNya yang tergelar. Sedangkan sunnah itu adalah penjelasan dari Qur'an sendiri yang dicontohkan sendiri oleh nabi SAW, misalnya memelihara jenggot sebagai perlambang umat islam itu rendah hati, menggunakan celana diatas mata kaki sebagai maksud terbebas dari kotoran najis yg ada ditanah dan sebagai perlambang menghindarkan diri dari kotoran2 hati seperti kesombongan. Tapi diatas segala sunnah yg berupa perilaku adalah sunnah yg paling utama yaitu akhlak mulia, bagi yang melulu memperdebatkan masalah2 syar'i dan mengesampingkan akhlak mulia, maka itu adalah bagaikan jasad tanpa ruh alias mayat.

Terjemahan bait 8
mata dari jiwanya
supaya terlihat kalau ucapannya pasti
malas merendah dan harus unggul
mengumbar kesombongan
yang begitu dinamakan tidak tahu diri
suka memerintah dengan berani
tidak enak itu orang tua

masih melanjutkan tentang orang yg sudah rusak hidupnya, orang ini punya mata dari jiwanya (Socaning jiwangganira) yaitu yang menemani kehidupannya sehari hari berupa sifat sombong dan suka membual dengan tujuan meyakinkan orang lain bahwa ucapannya benar (jer katara lamun pocapan pasthi) walaupun pada kenyataannya salah. Orang yg sombong itu paling malas untuk merendah dan inginnya selalu unggul dan diatas (lumuh asor kudu unggul), suka mengumbar kesombongan hingga berlarut larut, yang begitu dinamakan tidak tahu diri dan terlena akan sifat sombongnya sendiri sumengah sesongaran, yen mangkono kena ingaran katungkul). Orang yg tidak tahu diri dan terlena dengan kesombongannya suka perintah sana sini dengan seenaknya terhadap anak buah atau bawahannya (karem ing reh kaprawiran) supaya terlihat wibawa dan ditakuti, seharusnya atasan itu lebih sopan dan tahu diri dibanding bawahan sebab atasan itu biasanya punya pendidikan lebih tinggi dibanding bawahannya, semakin tinggi ilmu serta kedudukan maka musuhnya semakin dekat yaitu diri sendiri berupa kesombongan, orang yang sombong itu malas untuk menjadi tua (nora enak iku kaki) dalam arti mengaplikasikan sifat sifat baik yang arif dan bijak dan lebih suka sifat sifat yang muda dalam arti suka menonjolkan diri sendiri, suka dipuji, dan suka terlihat wibawa dan ditakuti.

Serat wedhatama Pangkur bait 6,7,8 ini melanjutkan kisah si bodoh di bait sebelumnya, tapi karena terlalu panjang penjelasannya maka saya bagi dua postingan. Inti dari bait 3,4,5,6,7 dan 8 adalah perbandingan orang yang bodoh dan mempunyai ilmu muda dalam arti suka menyombongkan diri, suka pamer dan manja, sedangkan orang pintar adalah orang yg mempunyai ilmu tua dalam arti suka merendah, suka mengalah, bijaksana dan tahu diri.

Artikel terkait sebelumnya

Terjemahan Serat Wedhatama Pangkur 3-5

blog comments powered by Disqus