Thursday, December 17, 2009

Realitas dan Katanya Buto

Setelah artikel yang membahas persepsi dan imajiasi ala buto, maka ini adalah kebalikannya, yaitu realitas dan katanya, walaupun juga masih diselingi perumpamaan2 dan imajinasi, tentu saja ala buto bocor alus.

Tono : "eh Not, kemarin kan kamu sudah mengulas segala tentang persepsi, ilusi dan imajinasi, maka supaya adil, dibahas dong tentang realitas dan juga yg katanya...katanya si A ...katanya si B..."

Noto : "kalau "katanya" itu bisa juga realitas, bisa juga hanya bohongan tergantung sumber informasinya"

Tono : "lha kalau realitas itu bagaimana hayo?, apakah hidup ini penuh realitas atau hanya sebuah ilusi?"

Noto : "tentu saja hidup ini realitas yg kita jalani selama ini, realitas bisa juga berarti pengalaman2 yg kita lalui sehari hari, jadi realitas itu sebuah kesaksian nyata, kalau dialami diri kita ya itulah kenyataan , sedangkan kalau dialami orang lain maka itu adalah "katanya"..."

Tono : hihihi...jadi teringat temen yang mengandalkan "katanya simbah" mosok dijaman millenium masih saja percaya sama katanya simbah buyut...hihihihii"

Noto : "ya itulah budaya kita yg masih mengandalkan budaya oral ketimbang budaya tulisan, maka dari itu jarang dari budaya kita yg diwariskan melalui tulisan/teks tapi lebih banyak dari cerita, maka dari itu yg namanya legenda dan mitos di sekitar kita itu sak ambrah2 dan juga belum tentu kebenarannya"

Tono : "berarti itu sebuah kesalahan didalam kebudayaan kita dong?"

Noto : "tidak sepenuhnya salah, memang budaya tutur atau cerita itu baik, tapi alangkah baiknya itu ditulis dan disimpan buat anak cucu kelak, agar bisa buat dokumentasi asli dari leluhur ke keturunannya, sedangkan apabila mengandalkan media tutur kata maka setiap bercerita bisa ditambahi atau dikurangi sesuka hati yg bercerita, maka dari itu keasliannya sangat rawan untuk melenceng"

Tono : berarti yg namanya katanya si A...katanya simbah...katanya simbok itu salah dong? wah jan ciloko aku"

Noto : "o iya ada kalanya kita percaya "katanya" tanpa kita buktikan"

Tono : "apa itu?"

Noto : "percaya kalau kita adalah anak ibu kita"

Tono : "lho memangnya kita bukan anak ibu kita to....iya sih kita ndak bisa membuktikannya wong kita ndak liat ibu melahirkan kita to....hihihi....maka dari itu kita harus percaya itu...betuuul kamu Noot"
 
Noto : "ada juga katanya yg terdokumentasi dan katanya juga terjaga selama berabad abad lho"

Tono : "opo neh to Nooot?"

Noto : "al Qur'an yang katanya sebuah kitab suci dan katanya diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan katanya juga terjaga selama berabad abad dari sejak jaman nabi SAW sampai sekarang"

Tono : "lho itukan memang wahyu dari Allah Nooot...itu tuh aseli diturunkan ke nabi SAW, itu memang dijaga keasliannya dari dulu hingga sekarang...ati2 lho kalo ngomong, bisa2 kamu dicap kafir lho sama MUI"

Noto : "kamu kata siapa kalau Al Qur'an itu begitu, apa kamu menyaksikan sang Nabi itu menerima wahyu po?"

Tono : "yaaa memang aku ndak menyaksikan sih, tapi aku yakin seyakin yakinnya..."

Noto : "yakin apa cuman percaya tapi diyakin yakinkan?"

Tono : "ya pokoknya yuaakiiin...sudah ah kalo meragukan ntar masuk neraka lho"

Noto : "kamu itu tahu kalo ada neraka dari mana hayoo? tahu kalo Tuhan itu Allah dari mana hayoo? kan semuanya katanya...katanya"

Tono : "iyaa sih, saya dulu itu mendengar katanya ustadz kalau neraka itu begini begitu, surga itu begini begitu dan Tuhan itu punya 99 Asma dan 20 sifat"

Noto : "maka dari itu semuanya katanya...ustadz itu juga katanya...bahkan apa dia tahu kalau Tuhan itu namanya Allah atau yg lainnya juga katanya to?"

Tono : "waaah kafir kamu Noot...meragukan Qur'an sebagai firman Allah, pokoknya kita ndak usah repot2, tinggal yakin aja kalau Qur'an itu wahyu Allah dan Allah itu Tuhan kita kalau ingin selamat"

Noto : "aku ngomong begitu bukannya aku meragukan Qur'an dan Nabi SAW, tapi lebih ke sarana instrospeksi diri, apakah kita hanya taklid kepada ustadz A atau kyai B tapi kita sendiri dihati kecil kita masih ada tanda tanya besar "apa iya sih?"...."apa betul begitu?"....."jangan2 bohongan"....tapi pertanyaan2 itu langsung tenggelam oleh rasa takut kita terhadap adzab neraka yg diajarkan kepada kita apabila kita meragukan Qur'an dan Nabi SAW"

Tono : "jadi maksud kamu apaa?"

Noto : "maksudku adalah, cobalah untuk mentransformasikan yg katanya ustadz A, katanya kyai B itu kita terapkan dan transformasikan ke diri kita supaya menjadi realitas hidup kita sehari hari"

Tono : "lha terus gimana itu?"

Noto : "pakai contoh saja yaa, kan ada dalil yg menyatakan "sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar" maka dapatkah kita membuktikan sholat kita bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar? atau jangan2 sehabis kita mengerjakan sholat masih aja korupsi, maling , bohong dsb, maka dari itu dalil yg mengatakan "sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar" itu hanya sebatas isapan jempol belaka bagi yg masih suka korupsi, bohong dsb."

Tono : "kan kalau dalilnya gitu ngapain repot, wong urusan korupsi dan bohong itukan urusan masing2, yang penting dalilnya begitu ya harus yakin dong....katanya...hihihihih"

Noto : "sekarang bagaimana membuat yg katanya si A katanya kitab B katanya dalil C itu menjadi kenyataan didiri kita, maka yg tadinya katanya menjadi realitas kehidupan sehari hari"

Tono : "kalau itu cenderung lebih gampang Not...tapi kalau katanya Allah itu nama Tuhan...lha itu gimana cara membuktikannya atau bagaimana realitasnya...itukan katanya to? hihihihhi.....mumet pora?

Noto : "coba aku jelaskan dulu ya, semoga ada benarnya penjelasanku....kalimat "laa ilaaha ilallah" itu secara terjemahan harfiah versiku itu "tiada ilah kecuali ilah Allah" sedangkan ilah itu serupa dengan zat atau sesuatu yg ada atau juga yg dituju...sedangkan Allah itu bisa berarti "sang tunggal"....maka kalimat itu artinya tiada zat apa2 kecuali zat itu sendiri....zat itu sendiri yg berkata begitu dan zat itu tunggal/meliputi, ini merupakan sebenar benarnya kesaksian, dan sebenarnya zat itu tidak bernama, sedangkan nama Allah itu hanya sebagai penanda"

Tono : "berarti bisa juga kalau orang membaca kalimat itu secara gamblang "tiada zat kecuali Allah" kalau yg berkata aku berarti tiada sesuatu/zat kecuali Allah dan aku itu Allah...bisa gitu gak?

Noto : "sik..sik...jangan terburu buru bersaksi "aku Allah" kalau kamu begini malah jadinya pengakuan sepihak, kalau sudah berkata begitu maka Noto, Tono atau aku sudah tidak ada lagi karena sudah terliputi "sang tunggal/Allah", yang ada Aku...Aku itu Allah, ingat lho pakai A besar bukan a kecil"

Tono : "halaaah apa bedanya to, kalau aku Allah dan Allah itu aku, apa bedanya to?"

Noto : "tentu saja beda, kalau bicara Tono itu Allah maka bermakna Tono terliputi oleh dzat Allah, sedangkan Allah itu aku maka Allah terliputi oleh aku, ini salah sebab Allah itu meliputi tidak hanya akunya Tono tapi ada aku2 lainnya yg terliputi olehNya, dalam hal ini yg betul adalah "Aku itu Allah" maka aku aku yg lainnya sudah tidak ada, kalau masih ada aku lainnya selain Aku maka itu namanya keakuan sepihak atau sombong"

Tono : "waduuh pusing...kamu kok sukanya menghubung hubungkan yg pusing2 to? lalu apa hubungannya sama realitas kehidupan kita itu Nooot...gak usah njlimet2 to..."

Noto : "gampangnya gini, keakuan itu penting dan sumber keakuan itu memang dari Aku, hanya manusia yg diberi titipan akuNya Allah untuk menjadi kholifah dibumi ini atau wakil2Nya, tapi akan terkutuk seperti iblis apabila akuNya Allah itu kita aku2 sepihak/sombong yg contohnya seperti katamu itu "aku Allah dan Allah aku" inilah kesombongan/mengaku aku sepihak"

Tono : "sik..sik...karena kamu ngomong itu jadi teringat kataku tadi "aku Allah dan Allah aku" kok bisa salah? kan serupa dan terhubung satu sama lain to?"

Noto : aku Allah itu betul karena aku terliputi dzat Allah, sedangkan Allah itu aku menjadi salah sebab yg terliputi tidak hanya aku disini, tapi ada aku2 yg lainnya yg terliputi...contoh gampangnya "kursi itu perabot rumah tangga" ini betul, sedangkan "perabot rumah tangga itu kursi" ini salah sebab perabot rumah tangga tidak hanya kursi semata melainkan meja, lemari, bupet dll juga termasuk perabot rumah tangga, ini seperti logika predikat lebih besar/meliputi obyek, kan sudah aku jelaskan tadi to?"

Tono : "hihihi...maklum bocor alus nih...lalu penerapannya kesaksian tadi untuk kehidupan kita sehari hari gimana hayooo?"

Noto : "secara gampangnya melalui latihan ikhlas yaitu "topo ngrame" dengan topo ngrame sepi ing pamrih rame ing gawe maka kita berlatih mencapai keikhlasan sesungguhnya yaitu mereduksi keakuan2 sepihak yg tidak diakui olehNya, dengan ikhlas atau semuanya karenaNya maka keakuan kita diakui olehNya, segala hak milik kita diambil oper olehNya, seolah olah kita memiliki dunia ini untuk kita kelola dengan catatan tidak ada lagi keakuan sepihak diri kita, maka kita telah menjadi bagianNya, bagian rencana terbaikNya dan sebaik baik takdir disisiNya"

Tono : "ooo gitu to, aku tahu sekarang mengapa kamu sering klayaban alesannya topo ngrame, jadi itu to maksud kamu supaya diakui olehNya"

Noto : "betul sekali, itulah cita2ku ya cita2 kita supaya keakuan kita diakui olehNya, maka yg tadinya dalil2 itu sebatas katanya ustadz A, katanya ayat B dll itu kita aktualisasikan menjadi realitas kenyataan didiri kita, dengan menjadikan realitas maka yg tadinya hanya percaya setengah2 atau percaya yg diyakin yakinkan menjadi haqqul yakin atau seyakin yakinnya karena sudah membuktikan didalam realitas hidup kita sehari hari"

Tono : "hihihi, kalo topo ngrame aku gak ikutan ah...malees gitu lho, mendingan topo mbuto aja mangan, turu, ngising, ngeblog hihihihi...o iya lanjutkan penjelasanmu!"

Noto : "aku mulai dari syahadat yg umum saja "ashadu alaa ilaaha ilallah, ashadu anna muhamadarasulullah" yang kalimat pertama sudah aku jelaskan tadi, sedangkan "muhammad rasullullah" itu artinya muhammad rasulnya/utusan Allah, muhammad ini tidak hanya mengacu pada Muhammad bin Abdullah saja tapi lebih ke nur Muhammad atau cahaya terpuji cahayaNya Allah yg memancarkan sifat2 terpuji yaitu akhlak mulia"

Tono : "ooo jadi ujung2nya ajaran agama khususnya Islam itu akhlak mulia to? hmmm...jadi tahu aku kalau ada istilah "Islam itu agama sempurna/penyempurna" tapi apakah betul Nabi SAW itu rasul terakhir? ...katanya lho ya...hihihihih"

Noto : "aku lanjutkan yg tadi, akhlak mulia/muhammad itu meliputi ikhlas, sabar, syukur,amanah dll, tapi akhlak itu adalah watak dari perilaku, akhlak itu batin sedangkan perilaku itu zahirnya, apabila sudah terbentuk akhlak yg mulia maka perilakunya pasti juga ikutan mulia, lain halnya kalau hanya perilaku thok yg baik tapi akhlaknya bejat sebab hanya ikut2an atau bisa juga pura2 baik, maka dari itu akhlak mulia yg sempurna pasti diikuti oleh perbuatan yg mulia juga disisiNya, walaupun yg baik2/mulia disisiNya belum tentu juga terlihat baik oleh manusia kebanyakan"

Tono : "lhaa contoh yg baik disisiNya dan terlihat tidak baik bagi kebanyakan manusia apa?"

Noto : "baca kisah Khidir dengan nabi Musa as"

Tono : "hihihi...ya udah baik ke tengtop tadi"

Noto : "o iya aku jelaskan mengapa Muhammad SAW nabi/rasul terakhir, karena setelah nabi Isa as sebagai nabi dengan kesadaran spiritualitas tinggi/kesadaran ruh maka tahap selanjutnya adalah aktualisasi dari kesadaran itu sendiri buat orang banyak, maka dari itu diperlukan perilaku yg dijiwai akhlak mulia yaitu melalui syariat Islam yg dibawa nabi SAW, sedangkan inti dari syariat itu keadilan, kebersamaan, berguna bagi orang banyak, dan juga perbuatan terpuji tentu saja, maka rasul terakhir diartikan sebagai perwujudan akhlak mulia terhadap Tuhan/diri sendiri/orang lain/alam sekitar sebagai output terpenting/terakhir, apakah sudah betul2 baik bila punya spiritualitas tinggi tapi hanya untuk diri sendiri?"

Tono : "lho, kalau sudah berspiritualitas tinggi apakah masih perlu menjalankan syariat yg merepotkan itu, sedangkan syariat kan hanya sarana to, kalau tujuan sudah tercapai apakah masih perlu itu?"

Noto : "pertanyaan bagus, sering kita mendengar ceramah2 tentang pentingnya syariat Islam, tapi kalau masih hanya sebatas katanya si A, katanya dalil B maka kita hanya akan menjalankan syariat secara terpaksa takut masuk neraka kepingin masuk surga, tapi kalau sudah diolah seperti kataku tadi maka yg katanya menjadi realitas, pada tahapan realitas inilah menjalankan syariat Islam menjadi nikmat, ibarat kata sholat 5 waktu seperti gajian 5 kali sehari apabila tidak kita ambil gaji kita sekali saja maka akan merasa rugi besar, menjalankan syariat itu bonus dan kenikmatan, kalau masih terpaksa maka perlu ditinjau ulang keimanannya"

Tono : "hee nyindir aku yah...yang masih sholat dengan terpaksa dan abis salam mak klepat langsung pergi...hihihihih jadi malu nih"

Noto : 'tapi perlu aku tambahin, tentang syariat itu tadi, mungkin kamu akan bilang itu merepotkan karena tidak hanya sholat tapi ada hukum potong tangan, rajam, dll....pokoknya bagi kita menjalankan rukun Islam secara benar saja itu sudah bagus tapi juga diiringi perbuatan baik sehari hari, soal yg potong tangan, rajam dll itu sudah masuk hukum muamalah, inti dari muamalah ya keadilan itu sendiri, penerapan dari keadilan itu diserahkan kepada pemimpin setiap wilayah/negara asal itu baik buat bersama dan memenuhi rasa keadilan bersama itu sudah bagus"

Tono : "ya itu tadi yg aku sebut merepotkan, mosok ibadah harus lima kali sehari, harus buang2 duit buat haji, apa itu ndak merepotkan?

Noto : "kan aku bilang, bahwa bagi yg keimanannya sudah penuh dan haqqul yakin maka itu semua bukan kewajiban lagi melainkan hak, apabila haknya tidak diambil maka akan merasa rugi besar"

Tono : "waduuh, padahal keimananku masih sebatas percaya yg diyakin yakinkan maka dari itu semuanya serba terpaksa, lalu apa kesimpulannya ndoro buto..eh..mas Noto sing ganteng dhewe?"

Noto : "kesimpulannya.....menjalankan syariat kalau sekedar katanya...katanya...maka itu akan menjadi keterpaksaan, sedangkan apabila sudah diwujudkan kedalam realitas kehidupan kita dan kita sudah membuktikannya maka akan menjadi ringan dan merupakan bonus besar didalam berspiritualitas....lagipula menjalankan syariat itu bagaikan "grounding" agar kita tetap membumi/merakyat, selama kita masih berbadan fisik/badan kasar maka kita masih perlu membumi, sebab selama masih punya tubuh tanah/bumi maka kita sangat rawan terhadap kotoran2 hati/sombong, nah dengan menjalankan syariat maka kita bisa menetralkan kotoran hati kita, lain halnya sudah benar2 berbadan rohani/mati maka kita tidak perlu syariat lagi"

blog comments powered by Disqus